Pengunjung Budiman

Flag Counter

Sunday 1 September 2013

Pocket Camera Raib Kemana?


 Pengantar: Ini adalah contoh Surat Pembaca yang biasanya terdapat di media massa. Anda dapat memanfaatkan rubrik ini untuk melampiaskan uneg-uneg Anda, gelisah, galau, kecewa atau apapun namanya terlebih terkait pelayanan publik. Maaf, tidak ada honor yang disediakan di sana. Sudah dimuat itu bagus. Anggap saja tulisan di Surat Pembaca adalah iklan bagi kita: bahwa Anda mampu menulis untuk media massa. Ingat, jumlah tulisan yang masuk di Surat Pembaca saja, tiap harinya, dapat mencapai ratusan. Yang tayang? Hanya beberapa. Gratis. Tak perlu anda bayar ke media bersangkutan. Sekadar catatan: kemarin pasang iklan untuk penganugerahan tanda jasa di koran yang sama, biayanya capai belasan juta rupiah!

Tulisan berikut tentang kehilangan kamera yang saya alami beberapa waktu lalu. Coba anda baca, temukan passion-nya. Temukan gairah menulis di sana. Ketika Anda menulis, Anda menjadi raja dunia. Terima kasih. [versi asli sebelum diedit oleh redaktur bersangkutan]

***

USAI meliput perhelatan akbar Seleksi Tilawatil Quran (STQ) Nasional 2013 di Koba, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, kami dengan seorang teman pulang ke Yogyakarta, Ahad (25/8). Sama seperti saat keberangkatan, sewaktu pulang kami menumpang pesawat Sriwijaya Air dengan rute Pangkal Pinang-Yogyakarta dengan nomor penerbangan SJ 069 transit Jakarta yang dilanjutkan menuju Yogyakarta dengan nomor penerbangan SJ 0230. Tak ada yang aneh dengan maskapai yang menggunakan nama kerajaan besar Nusantara itu. Bahkan keterlambatan sekira satu jam saat menunggu di Bandara Depati Amir Pangkalpinang menurut saya bukan hal yang aneh. Keanehan justru muncul saat kami memergoki tas ransel setengah terbuka saat mengambilnya di Bandara Adisucipto.

Padahal tas ransel milik kami sudah dimasukkan dalam travel bag. Memang kecerobohan kami, tidak menyertakan gembok kecil di sana. Sontak kami kaget: isi ransel terurai keluar. Saya cek dan benar saja, pocket camera merk Panasonic-Lumix raib entah kemana. Begitu juga dengan ransel kawan yang juga terbuka, namun alhamdulillah tak ada satu pun barang miliknya yang hilang.

Kebetulan di samping saya berdiri petugas bagasi Sriwijaya. Kami mengadu kepadanya dan hanya dijawab, "Maaf kami tak dapat berbuat apa-apa karena peristiwa seperti ini sudah kerap terjadi sejak dulu." Sembari menukas cepat bahwa pihak Sriwijaya, akunya, tidak akan mengganti klaim kehilangan seperti kejadian yang menimpa saya. Masih menurut petugas tersebut, kehilangan barang di bagasi, biasanya dilakukan oleh oknum porter di Bandara Soekarno Hatta.

Kalau memang terjadi sejak dulu, tanya saya, apa langkah yang telah dilakukan maskapai dalam hal ini Sriwijaya? Ia hanya gelengkan kepala. "Ya kami telah berusaha menghimbau kepada penumpang agar tidak menaruh barang berharga di bagasi," jawabnya terkesan basa-basi.

Saya tidak mempersoalkan barang yang hilang. Apalagi kalau sekadar nominal harga. Namun kenyamanan dan rasa keamanan saya sebagai penumpang mulai terganggu juga. Toh kalaupun benar kamera saku saya hilang saat transit di Jakarta, berarti benar  memang ada tikus-tikus oknum porter di Bandara Soetta. Sepanjang pengamatan yang sudah-sudah di ruang pembaca aneka surat kabar, majalah dan media lainnya tak terhitung berapa orang yang kehilangan barang di Bandara Soetta. Dan maskapai, seperti yang sudah-sudah pula, biasanya lempar handuk enggan tanggung jawab.

Melalui ruang publik ini saya berani menyebut bahwa yang melakukan tindak pencurian ini bukan hanya orang per orang alias oknum tapi sudah sindikat. Mereka leluasa mengendus lalu menjarah isi di dalamnya. Untuk tambahan penghasilan, mungkin. Atas kejadian ini saya benar-benar prihatin. Tampaknya mental maling di negeri ini sudah berdiaspora begitu hebatnya.

Selama saya bertugas ke beberapa daerah dengan aneka maskapai, kejadian ini adalah kali pertama. "Nyatanya saya tak pernah kehilangan saat menggunakan maskapai lain?" pancing saya kepada petugas. "Ah itu cuma kebetulan," jawabnya santai. Saya sangat berharap agar kejadian seperti ini tidak menimpa penumpang lainnya. Terima kasih.

Bramma Aji Putra
(Sumber: SKH Kedaulatan Rakyat, 1 September 2013)

Menelurkan Gagasan dan Meracik Tulisan

Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan.”

(QS. Al-Qalam [68]: 1)

Ternyata, pengertian opini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga terbitan Balai Pustaka Tahun 2002 sangat singkat, yakni pendapat, pikiran, pendirian. Setelah membaca pengertian itu saya berpikir. Kalau pengertian opini sesederhana itu, mengapa banyak di antara kita kesulitan ketika akan menulis sebuah opini?

(Yopi Nopriansyah, Pemimpin Redaksi Lampung Post)
Selamat datang mahasiswa budiman. Blog dan tulisan berikut saya dedikasikan khusus bagi Anda. Terutama Anda yang mengambil mata kuliah Penulisan Artikel (3 sks) di semester gasal 2013/2014 ini. Selamat datang mahasiswa Jurusan KPI! Semoga Anda mampu memetik hikmah, mengambil pelajaran, pula bagi saya menjadi penanda goresan tinta.
Baiklah akan kita mulai saja. Santai, rileks, tenangkan pikiran, baca dengan jernih, tak usah tergesa. Nikmati saja... Anggap saja blog ini sebagai sapa saya kepada Anda.... Are u ready? Yuk...bismillah.....
***
Banyak di antara kita yang pasti lihai menulis. Sejak sekolah dulu, misalnya, kita terbiasa menulis pelajaran, lalu lanjut kuliah. Bagi mahasiswa S1 ada tugas menyelesaikan skripsi, lalu dilanjut tesis, dan disertasi untuk S3. Banyak di antaranya yang dengan mudah menaklukkan tugas-tigas tadi. Namun, khusus untuk menulis artikel populer di media massa, ternyata tidak semua orang piawai melakukannya. Bahkan pernah ada seorang guru besar mengaku sulitnya minta ampun menulis artikel opini di media massa. Pertanyaannya, bagaimana cara jitu menelurkan gagasan, lalu menghasilkan tulisan dengan harapan menembus koran?

Sebelum kita beranjak lebih jauh, ada baiknya kita mulai dengan satu pertanyaan penting: mengapa harus MENEMBUS KORAN?

Ø  GAGASAN PRODUKTIF
Ide, pikiran, pendapat, dan gagasan kita tak hanya berada di kepala, namun tersebar luas kepada khalayak. Bahkan lebih masif daripada hanya berpidato dalam ruangan. Ketika Anda berceramah dalam ruangan, maka yang mendengar hanya sebatas mereka yang hadir. Tentu ini akan sangat berbeda ketika Anda menulis di koran.
Ø  KEPUASAN BATIN
Saya teramat yakin, saat Anda membaca koran dan melihat nama Anda tertera sebagai penulis opini maka ada sebuah kenikmatan panjang berupa kepuasan batin yang Anda rasakan. Dan ini sangat mahal harganya, tak terbilang nominal berapa pun juga.
Ø  NAMA DIKENAL
Dengan menulis di media massa, niscaya akan banyak orang mengenal Anda. Atau setidaknya cukup familiar dengan nama Anda. Berdasarkan sebuah survei yang dirilis Majalah Qalam, ternyata Pikiran Rakyat memiliki pembaca fanatik sebanyak 72,7 persen dari total penduduk Bandung yang berjumlah 2,4 juta jiwa. Lalu, jika Anda berhasil menulis di PR, berapa jumlah orang yang membaca tulisan Anda?
Atau SKH Kedaulatan Rakyat--yang menurut AC Nielsen Media Research--dibaca oleh sedikitnya 600 ribu orang. Andai 5 persen saja, saya ulangi, 5 persen saja baca tulisan Anda yang terpacak di Kedaulatan Rakyat, berarti ada 30 ribu orang yang menikmati tulisan Anda. Jumlah ini setara dengan membludaknya penononton di Stadion Mandala Krida. Nah...
Ø  BEKERJA UNTUK KEABADIAN
Umur tulisan kita justru lebih panjang ketimbang umur kita sendiri. Banyak tokoh yang telah lama wafat, namun namanya tetap abadi dikenang berkat beragam tulisannya: entah itu artikel di koran, buku, dan seterusnya.
Ø  MEMBERIKAN INFORMASI BARU KEPADA MASYARAKAT
Kadang, artikel opini justru memberikan pemahaman atau perspektif baru bagi masyarakat atas sebuah wacana yang sedang berkembang. Dan ini tentu sangat menarik karena kian beragam sodoran analisis sebuah wacana, maka informasi bagi masyarakat semakin terbuka luas.
Ø  DAPAT BONUS BERUPA HONOR
Barangkali bonus berupa honor ini boleh disebut masih minim. Menulis opini di KR, Anda akan diganjar Rp 250 ribu. Di PR, kita akan memperoleh Rp 275 ribu. Akan kian menanjak kalau kita dapat menembus koran Ibukota. Menulis di Kompas, sebagai contoh, kita dapat mengantongi Rp 750 ribu-Rp 1 juta; Republika Rp 500 ribu; Suara Pembaruan Rp 1 juta; Jawa Pos (Surabaya) Rp 700 ribu, dan sebagainya. 

Mungkin honor ini tak sebanding dengan biaya riset yang kita lakukan atau juga masih banyak proyek lain dengan nilai rupiah yang lebih besar. Namun, sekali lagi, dengan menulis di koran berarti Anda telah memasarkan diri Anda. Dan itu sangat mahal harganya: mendapat undangan dari Pemda, instansi swasta, perusahaan, dan lain-lain bahkan alhamdulillah, sebelum lulus S1 saya telah digadang-gadang untuk mengajar Penulisan Artikel kepada adik-adik kelas....
Alhamdulillah, berbagai kenikmatan hidup yang kini saya rasakan, semuanya bermuara dari menulis. Lalu bagaimana trik-trik jitu untuk menulis? Nantikan postingan selanjutnya... Atau bolehlah Anda tanyakan saat berada di kelas. Terima kasih dan salam hangat untuk Anda semua...

Sukonandi 8
Wed, 28 August 2013
14.41 wib